top of page
  • Writer's pictureSteve JM

Kebutuhan Ruang Ketiga



Keberadaan Ruang Publik

Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan interaksi sosial dengan sesamanya dalam daur hidupnya. Ruang publik telah menjadi latar bagi perkembangan kehidupan publik, baik dalam kegiatan ekonomi, sosial, hiburan, hingga politik. Berlangsungnya kehidupan publik atau interaksi sosial sangat bergantung pada keberadaan dan perkembangan ruang publik.

Minimnya ruang publik sebagai akibat pengembangan yang hanya berorientasi pada kepentingan kapital, mengakibatkan masyarakat mengatasinya secara mandiri. Mereka mengadakan sendiri ruang publik di lingkungan pemukimannya dengan kemungkinan akses yang lebih besar. Sebuah lapangan terbuka di tengah permukiman misalnya, tidak jarang menjadi ajang sosialisasi para warga. Begitu juga dengan gardu ronda, sumur komunal, serta jalan-jalan di depan rumah.

Bisa kita lihat sendiri jalan-jalan di dalam perumahan hingga perkampungan yang difungsikan oleh warga setempat sebagai ruang untuk bersosialisasi dengan tetangga atau tempat melakukan aktivitas seperti mencuci kendaraan, bermain, berolah raga (bulu tangkis, sepak bola, jalan-jalan) atau dalam melakukan kegiatan besar warga seperti perayaan tujuh belasan, dan masih banyak lagi.

Jalan-jalan di tengah permukiman tersebut tampaknya memenuhi banyak kriteria kehidupan ruang publik. Jalan sebagai ruang publik sangat memungkinkan warga setempat untuk melakukan aktivitas serta berinteraksi dengan aktivitas lain dan lingkungan. Hanya mungkin pada beberapa permukiman yang padat, faktor lingkungan alamnya seperti sinar matahari, angin, air, pohon dan binatang, kurang mendukung. Sementara interaksi dengan jalan sudah tentu ada dan sudah pasti mudah dan murah karena warga tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga atau materi untuk menjangkaunya, tinggal berjalan keluar rumah saja. Keamanan dan kenyamanan relatif bisa dicapai karena dekat dengan rumah. Pengganggu yang utama adalah ketika ada kendaraan lewat sehingga beberapa aktivitas harus dihentikan.

Fenomena yang nampaknya terjadi hampir di semua permukiman ini menandakan bahwa kebutuhan masyarakat akan ruang publik sangat tinggi dan perlu segera diantisipasi agar tidak terjadi degradasi lingkungan dan sosial.

Komersialisasi ruang publik juga merupakan suatu fenomena yang saat ini banyak terjadi, tidak hanya di negara berkembang namun juga di negara-negara maju seperti Amerika. Pengembang-pengembang secara agresif mengincar lokasi-lokasi yang strategis, luas dan murah - tanpa memperdulikan faktor-faktor sosial, urban maupun sejarah - untuk dikembangkan menjadi daerah komersial. Tidak heran bila taman kota atau lokasi bangunan bersejarah tiba-tiba diganti dengan mall atau shopping center.

Pengembangan kawasan baru dianggap belum lengkap bila tidak menyertakan shopping mall sebagai ikonnya. Dengan bangunan kontainer (container building) yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar dan ciri arsitektur yang mencomot meniru atau mengadaptasi citra dari berbagai belahan dunia disertai lautan parkir di sekelilingnya, melengkapi ritual belanja sebuah masyarakat konsumtif yang muncul akibat kapitalisme.

Bangunan kontainer yang mengisolasi ruang dalam dari luar serta lahan parkir yang luas seakan melengkapi hilangnya keterikatan dan kontekstualitas dengan lingkungan/kawasan sekitarnya, yang tentu saja semakin menambah degradasi kawasan yang terjadi.


Hilangnya ‘Ruang Ketiga’

Kehidupan manusia selalu berakar pada alam dan dunia buatan manusia. Arendt lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat ketersaling-kaitan antara manusia dan lingkungan sebagai tempat manusia beraktifitas. Manusia sebagai human activa membutuhkan kehadiran orang lain untuk melengkapi kehidupannya dan lingkungan untuk melakukan aktifitas tersebut. kebutuhan inilah yang kemudian yang melatarbelakangi terbentuknya public realm. Ruang dimana terjadi publik realm selanjutnya lebih banyak dikenal dengan sebutan ruang publik.

Ruang publik (Public Space) didefinisikan sebagai ruang/tempat dimana setiap orang dapat bebas keluar masuk tanpa dipungut suatu bayaran. Contohnya adalah jalan dan taman umum dimana setiap orang bebas memasuki dan menggunakannya. Karena bersifat bisa digunakan atau dimasuki setiap orang, ruang publik tidak mempertimbangkan aspek privasi bagi penggunanya.

Jika mengacu pada definisi tersebut, lorong atau jalan (hallway) pada pusat perbelanjaan tidak bisa disebut sebagai ruang publik, karena memiliki aturan dan regulasi tertentu – seperti jam buka-tutup, cara berpakaian – yang mengakibatkan tidak semua orang bisa memasuki/menggunakannya. Sama juga halnya dengan gedung serba guna, platform kereta api, gedung pertunjukan, ruang tunggu pesawat dimana dibutuhkan tiket untuk memasuki dan menggunakan ruang tersebut.

Ruang publik memberikan warna sendiri dalam kehidupan masyarakat, ruang ini dibutuhkan sebagai respon terhadap ruang-ruang rutin dalam kehidupan masyarakat seperti tempat tinggal dan tempat bekerja. Di ruang publik inilah terjadi pertukaran dan pergerakan energi yang menggerakan dan menghidupkan kawasan/lingkungan tersebut.

Bentuk ruang publik yang ada merupakan gambaran nyata dari nilai-nilai kehidupan publik – privat yang dianut komunitas tersebut. Munculnya ruang publik juga merupakan respon usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, pasar sebagai tempat bertransaksi dan memenuhi kebutuhan hidup, gedung untuk perayaan dan festival dan lain sebagainya.

Sejalan dengan perkembangan budaya saat ini, dimana masyarakat menjadi semakin tertutup (introvet), keberadaan ruang publik menjadi semakin terancam meski kebutuhan akan ruang tersebut sebenarnya masih ada. Elemen yang sering disebut/diidentifikasikan sebagai sesuatu yang hilang adalah yang oleh sosiologis Ray Oldenburd sebagai The Third Place. The Third Place (ruang/tempat ketiga) adalah ruang/tempat berkumpul/beraktivitas (gathering) komunitas masyarakat selain rumah (the first place) dan tempat bekerja (the second place).

Banyak pengamat yakin bahwa hilangnya tempat komunitas untuk, berkumpul, beraktivitas dan berinteraksi inilah yang dicari oleh masyarakat yang tinggal di daerah suburban dan daerah pinggir kota.


Ruang Publik Yang Ideal

Ruang publik adalah tempat dimana orang pergi dengan tujuan tertentu. Untuk mencari suasana yang tenang, orang pergi ke taman-taman, untuk melakukan perdagangan, orang pergi ke pasar. Kita menghabiskan waktu di tempat-tempat publik tersebut karena kebutuhan kita bukan karena suatu keharusan. Ruang publik menarik karena memberi kesempatan untuk terjadi interaksi. Sejauh ini belum ada sebuah formula atau rumusan khusus untuk menciptakan ruang publik yang berhasil.

Untuk menciptakan ruang yang berhasil, dibutuhkan lebih dari sekedar area parkir yang luas/banyak, decoratif streetscaping, dan toko-toko retail yang menjual fashion terkini. Untuk mencari contoh ruang yang dibangun berdasarkan skala manusia dan menawarkan kombinasi berbagai fungsi, karakter civic yang kuat dan sense of place yang bertahan, kita harus melihat ke masa lalu

Agora – medieval market square pada Yunani kuno – merupakan cikal bakal tradisi ruang publik. Fungsi Agora tidak jauh berbeda dengan Basillica dan Forum di jaman Romawi kuno, yaitu ruang publik yang biasa digunakan untuk menyampaikan pendapat kepada publik. Pada masa Romawi kuno, setiap pendapat disampaikan secara terbuka pada setting publik - basilica dan forum – pada siang hari saat bisa disaksikan oleh banyak orang. Saat ini tradisi tersebut dihubungkan sebagai manisfestasi hak untuk berkumpul, berbicara dan memprotes.

Keseimbangan kehidupan publik-privat dan dampaknya pada ruang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fisik, sosial, politik dan ekonomi yang telah berevolusi sepanjang sejarah.

Main street dan town center historis tidak hanya sekedar berfungsi sebagai tempat untuk tinggal, bekerja dan bersosialisasi, namun juga sebagai tempat untuk mengorganisir pejuang, melakukan protes, pidato publik dan menampung seluruh aspek kehidupan publik komunitas tersebut.

Pada abad ke-17, distimulasi oleh perubahan sosial dan ekonomi, konsep privasi domestik perlahan mulai menular ke masyarakat kelas menengah dan bawah. Perubahan ini bisa dirasakan dengan adanya pemisahan yang jelas antara tempat tinggal dan tempat bekerja.

Dalam perkembangannya, privasi menjadi salah satu aspek dalam budaya barat yang dilindungi oleh konstitusi dan kebijaksanaan publik. Dan pada saat yang bersamaan setting kehidupan publik perlahan mulai bergeser dan hilang. Intervensi kapital telah merubah substansi kehidupan publik menjadi terprivatisasi, hanya diperuntukan bagi kalangan tertentu. Tempat-tempat yang dulunya pasar, sarana rekreasi dan interaksi sosial telah hilang atau semakin minim. Hal ini harus memperoleh perhatian dan keprihatinan yang mendalam. Slessor menilai jika kehidupan publik dan ruang publik semakin dilupakan atau hilang, orang menjadi terisolasi, mengerosi seluruh aspek keterikatan dan semangat komunal.

Diskusi tentang humanisme dalam Arsitektur dan Perencanaan pada 1951 menunjukkan perkembangan yang positif kepedulian perencana dan perancang dalam memperhatikan aspek kemanusiawian dalam arsitektur dan urban planning.

Dua jenis ruang publik yang dapat kita jumpai adalah ruang publik berbentuk square (lapang) - seperti plaza, alun-alun - dan bentuk linear. Ruang publik berbentuk square banyak ditemukan di Eropa, sedangkan di Timur atau Asia pada umumnya, lebih banyak yang berbentuk linear. Di Indonesia, terutama di kota-kota lama - seperti Yogya dan Bandung – bisa juga ditemui ruang publik yang berbentuk square yaitu alun-alun namun ruang ini sangat bersifat formal, yaitu sebatas untuk kegiatan budaya.

Saat ini, mungkin karena tata ruang kota yang sudah telanjur padat sehingga tidak banyak menyisakan ruang-ruang lapang, jalan pun akhirnya difungsikan sebagai ruang publik. Istilah yang sedang populer sekarang adalah share street, jadi jalan di-share untuk kegiatan yang lain. Ini sudah terjadi di perumahan-perumahan kita.

Dalam menciptakan ruang publik yang ideal, haruslah memenuhi beberapa aspek yaitu: Aspek etika (moral) yaitu terbuka bagi semua orang dan demokratis; Aspek fungsional (kebenaran), yang meliputi tiga hal, sosial ekonomi dan lingkungan; Aspek sosial adalah syarat utama yang menghidupkan ruang publik. Ruang publik juga harus berfungsi menjaga kelestarian lingkungan karena lingkungan yang nyaman akan membantu hidupnya ruang publik.

Aspek lainnya adalah aspek keindahan estetika, yang memiliki tiga tingkatan yaitu, Estetika formal dimana obyek keindahan memiliki jarak dengan subyek (hanya bisa dilihat), Estetika fenomenologi/pengalaman dimana obyek dinikmati dengan partisipasi atau interaksi, dan Estetika ekologi dimana keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang tersebut.

Beberapa kriteria lain yang mendukung hidupnya ruang publik adalah, adanya tempat aktivitas yang diinginkan, interaksi dengan lingkungan alam, interaksi dengan jalan yang memudahkan aksesibilitas, interaksi dengan aktivitas lain, serta keamanan dan kenyamanan.

Dalam membangun orientasi dan keterkaitan, hal yang paling pertama dan mendasar adalah memisahkan inside dan outside, memisahkan lingkungan yang nyaman dengan yang tak terkontrol, suatu outside. Berada di inside (dalam) berarti mengetahui dimana kita berada. Inside bisa berarti juga ruang terbuka (oudoors) publik. Begitu perancang berhasil mendefinisikan inside, maka ia memiliki hak dan tanggung jawab untuk memilih view keluar. Inilah salah satu kuntungan dari berada inside, yaitu memiliki kemampuan untuk menyeleksi.

Perubahan dan siklus natural matahari merupakan suatu alat yang membangun kontnuitas ruang kita dengan waktu. Sebuah bangunan harus mempertimbangkan faktor ini, bukan mengeliminasinya.

Bangunan yang kita rancang juga harus memperhitungkan relasi antara alam dan lingkungan buatan yang menjadi wadah aktifitas manusia, mewujudkan kerangka abstrak yang memberi arti dan berarti bagi perilaku kita.

Membuat penanda signifikan seperti monumen atau landmark bertujuan untuk menunjukkan orientasi, identitas dan kepentingan yang bersifat publik. Hal ini  merupakan suatu bentuk tindakan membangun keterikatan dan kepemilikan (belonging) komunitas terhadap tempat tersebut dan sebaliknya.

Kemudian kita harus melihat masalah fungsional, namun bukan tentang bagaimana bangunan bekerja, melainkan tentang bagaimana orang akan  menggunakannya dan kemudian menilik aspek ekonomi dari penggunaan ruang, bukan dari biaya per meter perseginya.

Motivasi kegiatan manusia dan kedinamisannya harus terakomodasi dan diantisipasi, sehingga orang harus diperhitungkan sebagai ‘generator’ bukan sekedar obyek.

Untuk membangun komunitas yang hidup, perancang harus menciptakan lingkungan yang menarik dan manusiawi, sebuah lingkungan dengan identitas dan ciri yang unik.

Hubungan antara kehidupan/aktifitas publik dan ruang publik yang bersifat dinamis dan saling bertautan satu sama lain ditentukan oleh beraneka ragam aspek. Tugas arsitek dan perencana kota adalah untuk merangkai semua hal tersebut menjadi suatu sistem yang sustainable, terintegrasi dengan baik dengan tetap memperhitungkan aspek spatial, sosial dan teknis kehidupan privat dan publik masyarakatnya.

Nothing more completely represents a nation than a public building …

Benjamin Disraeli, 1847, p.112  


The heart of the city is the patrimony of all … every town should have its agora, where all who are animated by a common passion can meet together.

Elisee Reclus, 1895, pp.263-4  


The Core is not the seat of civic dignity: the Core is the gathering places of people

Jaqueline Tyrwhitt, CIAM 8, 1951, p.103  


Locus genii sebagai urban core dinilai sebagai suatu faktor penting dalam unsur pembentuk kota. Ini tidak hanya akan mengubah kehidupan publik lebih dari sekedar ruang dengan fungsi tertentu, namun akan mengangkat komunitasnya ke kondisi kehidupan komunal yang lebih baik.


-----


Referensi:

1) Arendt, H; The Human Condition; Chicago, The University of Chicago Press, 1958; h.22

  1. 2)Ray Oldenburg; The Great Good Place; New York: Paragon House, 1989

  2. 3)Bohl, Charles C; Place Making: Developing Town Center, Main Streets and Urban Village; Washington DC: The Urban Institute, 2002

  3. 4)Slessor, Catherin; Public Engagement – Evolution of Public Space; The Architectural Review, Aprill 2001

  4. 5)Didik Kristiadi; Jogja Kita – Menilik Ruang Ruang Publik; Gudeg Net

  5. 6)Benjamin Disraeli, Trancred or of the New Crusade (1847), London, Longmans, Green and Co, 1881

  6. 7)Elisee Reclus, The Evolution of Cities, Contemporary Review, 1895 vol.67 dikutip dari Iain Boyd White, Modernism and the Spirit of the City, h.246-64

  7. 8)Jaqueline Tyrwitt, Cores within the Urban Constellation, in CIAM, The Heart of the City: Towards the Humanisation of Urban Life, ed. By J Tyrwhitt, J.L. Sert and E. N. Rogers, London, Lund Humphries, 1951,pp.103-7

795 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page